Eceng gondok, tumbuhan yang sering kita jumpai di perairan terbuka, memiliki kemampuan yang luar biasa untuk tumbuh dengan cepat. Namun, terkadang pertumbuhannya bisa menjadi masalah yang serius bagi lingkungan. Salah satunya seperti yang terjadi di Sungai Bengawan Solo baru-baru ini, yaitu fenomena blooming eceng gondok.
Beberapa minggu terakhir, banyak media yang mengabarkan bahwa Sungai Bengawan Solo di Bojonegoro pada beberapa titik mengalami perubahan drastis. Perubahan tersebut terlihat secara visual akibat permukaan sungai tertutup oleh eceng gondok yang tumbuh dengan sangat lebat hingga ± 23 km (Dilansir dari Media Radar Bojonegoro). Fenomena pertumbuhan yang sangat cepat ini kita kenal dengan istilah “blooming”.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan blooming eceng gondok? Artikel ini akan membahas fenomena tersebut lebih lanjut beserta dampak dan cara pengelolaannya. Untuk penjelasan mengenai fenomena Sungai Bengawan Solo dan ‘blooming’ secara umum dapat dilihat di sini.
Gambaran Umum Eceng Gondok
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air yang hidup di perairan tawar. Tumbuhan ini memiliki daun yang tebal, lebar, serta dilapisi zat lilin sebagai pelindung dari masuknya air yang berlebih, bakteri, serta jamur.
Tumbuhan ini dapat menjernihkan perairan karena memiliki potensi sebagai fitoremediator atau tanaman yang menjadi agen fitoremediasi (pemulihan). Dalam salah satu jurnal review menyatakan bahwa eceng gondok dapat menurunkan konsentrasi zat pencemar dalam perairan. Zat pencemar yang dimaksud adalah BOD, TDS, COD, TSS, dan Pb. Selain itu, eceng gondok juga dapat membantu adjustment pH menjadi 6-9.
Meskipun memiliki kemampuan untuk menjernihkan air, namun pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat bisa berbahaya bagi lingkungan. Tumbuhan yang berasal dari Amerika Selatan ini dianggap sebagai salah satu gulma air yang paling merusak di dunia. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhannya yang sangat tinggi dan kemampuannya untuk tumbuh di berbagai kondisi nutrisi dan lingkungan.
IUCN (International Union for Conservation of Nature) menyatakan bahwa eceng gondok termasuk sebagai salah satu dari 100 spesies gulma terburuk yang invasif dan agresif. Gulma ini menyebar dengan cepat di wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia, menggantikan vegetasi asli di badan air karena pertumbuhannya yang cepat terutama selama musim hujan.
Selain itu, eceng gondok juga telah ditetapkan menjadi spesies invasif berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 tentang Jenis Invasif. Reproduksi utamanya dapat secara vegetatif maupun generatif.
Penyebab Blooming Eceng Gondok
Blooming eceng gondok bisa terjadi karena kemampuan bertumbuhnya yang sangat cepat. Reproduksi eceng gondok dapat melalui cara vegetatif melalui geragih/stolon yang kemudian membentuk tanaman anakan. Proses reproduksi vegetatif dapat menggandakan populasi dua kali lipat dalam rentang waktu 7-10 hari sehingga cepat sekali untuk blooming.
Selain itu, reproduksi eceng gondok juga dapat melalui cara generatif melalui biji yang didapatkan dari penyerbukan benang sari ke kepala putik pada bunga. Biji yang dihasilkan sangat banyak dan dapat bertahan hingga 30 tahun.
Sehubungan dengan karakteristik reproduksi yang unik ini, pengelolaan dan pengendalian eceng gondok sangat sulit dilakukan.
Eceng Gondok (Sumber: Center for Invasive Species and Ecosystem Health, 2018)
Kondisi Perairan yang Memicu Blooming Eceng Gondok
Blooming eceng gondok di suatu perairan tidak terjadi begitu saja, namun terdapat proses yang cukup kompleks. Proses ini berhubungan dengan kadar atau konsentrasi nutrien terlarut dalam perairan. Dengan kata lain, hal ini berhubungan dengan kesuburan perairan.
Dalam ekosistem perairan, terdapat status terkait subur atau tidaknya suatu perairan yang terbagi ke dalam 4 tipe. Tipe perairan berdasarkan tingkat kesuburannya menurut Mason (1991) dan OECD (1982) adalah sebagai berikut:
-
Oligotrofik
Oligotrofik adalah kondisi perairan dengan konsentrasi nutrien rendah atau produktivitas rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perairan belum tercemar oleh unsur hara berupa nitrogen dan fosfor.
-
Eutrofik
Eutrofik adalah kondisi perairan dengan konsentrasi nutrien rendah atau produktivitas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perairan telah tercemar oleh unsur hara berupa nitrogen dan fosfor.
-
Hipereutrofik
Hipereutrofik adalah kondisi perairan dengan konsentrasi nutrien rendah atau produktivitas sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perairan telah tercemar berat oleh unsur hara berupa nitrogen dan fosfor
-
Mesotrofik
Mesotrofik adalah kondisi perairan dengan konsentrasi nutrien rendah atau produktivitas sedang. Hal ini menunjukkan nutrien dalam perairan masih berada dalam batas toleransi karena tidak ada tanda-tanda pencemaran air.
Dari penjabaran tersebut, tentunya sudah dapat diprediksi bahwa kondisi eutrofik dan hipereutrofik dapat menimbulkan dampak negatif dalam perairan akibat penumpukan nutrien. Penumpukan/pengkayaan nutrien tersebut dapat menyebabkan eutrofikasi.
Apa Itu Eutrofikasi?
Eutrofikasi adalah proses pengkayaan nutrien pada perairan yang terjadi karena masuknya nitrogen dan fosfor dari sumber eksternal maupun internal yang tidak terkendali, seperti dari limbah rumah tangga maupun industri.
Ibarat tanah yang subur, dengan kondisi perairan yang tinggi nutrien, maka probabilitas biota air baik mikro maupun makro untuk tumbuh subur akan lebih mudah. Biota mikro yang dimaksud meliputi mikroalga/fitoplankton. Sedangkan, biota makro dapat meliputi tumbuhan tingkat tinggi seperti eceng gondok (Eichornia crassipes), alang-alang air (Typha latifolia), apu-apu (Pistia stratiotes), dan kiambang (Salvinia sp.).
Selain perubahan yang dapat dilihat langsung karena tumbuhnya biota air, kondisi eutrofikasi pada perairan juga berdampak pada parameter fisika dan kimia lainnya. Konsentrasi nutrien yang tinggi menyebabkan beberapa hal sebagai berikut:
- Berkurangnya kadar oksigen (dissolved oxygen).
- Peningkatan kadar BOD (Biologycal Oxygend Demand).
- Peningkatan COD (Chemical Oxygen Demand).
- Peningkatan konsentrasi TSS sehingga mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan.
- Terhambatnya proses fotosintesis mikroalga.
Regulasi tentang Kualitas Air Sungai
Secara alami, ekosistem sungai memiliki kapasitas asimilatif, yaitu kapasitas untuk menyerap polusi yang dapat dikendalikan dalam konsentrasi tertentu. Kapasitas asimilatif juga mempertimbangkan faktor pengenceran untuk polutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas asimilatifnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup Lampiran VI, telah diatur bahwa konsentrasi nitrogen dan fosfor dalam sungai tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan dengan detail pada tabel berikut.
Regulasi Kualitas Air Sungai
Selain parameter yang ada pada tabel di atas, ada juga parameter lain yang diatur baku mutunya pada regulasi tersebut. Tujuannya, untuk melindungi ekosistem perairan dari dampak negatif yang terjadi akibat adanya suatu kegiatan, misalnya pembuangan air limbah ke sungai.
Penjelasan mengenai pengelolaan air limbah khususnya untuk kegiatan pembuangan ke sungai telah dibahas pada artikel sebelumnya, yang dapat dibaca di sini. Jika Anda menemui kendala dalam pengelolaan air limbah atau dalam menaati regulasi yang berlaku, Anda dapat berkonsultasi dengan kami di sini.
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Blooming Eceng Gondok
Eutrofikasi adalah masalah serius yang membutuhkan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengatasi dampaknya dan menjaga kesehatan ekosistem perairan. Upaya pencegahan dan pengendalian eutrofikasi dapat ditempuh dengan beberapa hal, yaitu:
-
Melakukan pembatasan input nutrien yang masuk ke badan air
Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sanitasi yang baik pada skala rumah tangga. Selain itu, perlu dilakukan pengolahan limbah industri sebelum dibuang ke perairan.
-
Pengelolaan sempadan
Pada sempadan sungai sering terjadi konflik lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian. Hal ini memungkinkan pupuk yang digunakan untuk kegiatan pertanian terbawa ke badan air. Oleh karena itu, perlu pengelolaan sempadan yang baik untuk menghindari hal tersebut.
-
Pengelolaan perairan
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu:
- Identifikasi sumber pencemar air dan melakukan pelarangan untuk membuang sumber pencemar ke badan air, agar beban pencemar dapat diatur.
- Pemulihan kualitas air dari hipereutrofik menjadi eutrofik.
- Pengurangan penggunaan pupuk dengan memperhatikan dosis yang tepat agar tidak mencemari perairan.
- Pengelolaan biologis dengan memberikan predator tanaman air, seperti ikan asli Indonesia yang dapat memakan gulma air.
- Memanfaatkan gulma air menjadi produk yang memiliki nilai jual.
Dari penjelasan-penjelasan yang sudah disampaikan, dapat kita pahami bahwa blooming eceng gondok bukanlah masalah yang dapat diabaikan. Penyebab dari fenomena ini sering kali terkait dengan kondisi lingkungan, termasuk tingginya kandungan nutrisi dalam air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan berkelanjutan sangat penting untuk meminimalkan dampak negatif dari blooming eceng gondok dan melindungi keanekaragaman hayati perairan.
Penulis: Rizkyanti Aulia
Editor: Silvi Kusuma Astuti